Tugas Kelompok

Singapura adalah sebuah negara kota sekaligus negara kepulauan kecil yang terletak di Asia Tenggara, di ujung selatan Semenanjung Malaya. Meskipun memiliki wilayah yang sangat kecil, Singapura terdiri dari satu pulau utama dan lebih dari 60 pulau kecil lainnya. Karena letaknya yang strategis di jalur pelayaran internasional, Singapura berkembang menjadi salah satu pusat perdagangan, keuangan, dan transportasi tersibuk di dunia. Negara ini dikenal sebagai "Kota Taman" karena tata kotanya yang modern namun tetap hijau dan tertata.

Nama Lokal : Republic of Singapore (Bahasa Melayu: Republik Singapura)

Bentuk Pemerintahan : Republik Parlementer

Kepala Negara : Presiden Tharman Shanmugaratnam (sejak 14 September 2023)

Kepala Pemerintahan : Perdana Menteri Lawrence Wong (sejak 15 Mei 2024)

Ibu Kota : Singapura (city-state, ibu kota sekaligus negara)

Luas Wilayah : ± 734 km² (termasuk hasil reklamasi)

Jumlah Penduduk : ± 6.003.000 jiwa (estimasi 2024)

Bahasa Resmi : Inggris, Melayu, Mandarin, Tamil

Agama : Buddha 31%, Kristen 18%, Islam 15.6%, Tao/Tradisional Tionghoa 8.8%, Hindu 5%, lainnya/tidak beragama 21.6% (estimasi 2020)

Suku Bangsa : Tionghoa 74.3%, Melayu 13.5%, India 9%, lainnya 3.2%

Mata Uang : Dolar Singapura (SGD)

Data dan visiualisai P,A,T

Singapura memiliki jumlah penduduk sekitar 6,03 juta jiwa pada tahun 2024, berdasarkan data Bank Dunia. Grafik pertumbuhan penduduk menunjukkan tren meningkat secara konsisten sejak tahun 1960-an, naik dari sekitar 1,6 juta jiwa menjadi lebih dari 6 juta dalam enam dekade terakhir.

Namun, berbeda dengan negara berkembang lain yang mengalami pertumbuhan alami, pertumbuhan penduduk Singapura sangat dipengaruhi oleh migrasi internasional dan tenaga kerja asing, sementara tingkat kelahiran nasional justru berada di bawah tingkat penggantian (replacement rate). Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan populasi Singapura bukan bersifat organik, melainkan dikendalikan melalui kebijakan demografis dan kebutuhan ekonomi.

Meskipun jumlah penduduknya relatif kecil, kepadatan penduduknya termasuk yang tertinggi di dunia, yaitu lebih dari 8.000 jiwa per km². Kondisi ini memberikan tekanan besar terhadap lahan, energi, transportasi, serta kebutuhan perumahan, sehingga manajemen sumber daya berbasis efisiensi menjadi aspek penting dalam keberlanjutan lingkungan Singapura.


Affluence (A)

Singapore berada pada tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi. Berdasarkan data GDP per kapita tahun 2024, Singapura mencapai nilai sekitar US$ 90.674,1, menjadikannya salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia.

Jika melihat tren historis pada grafik, GDP per kapita Singapura mengalami kenaikan signifikan sejak tahun 1960-an yang masih berada di bawah US$ 1.000, kemudian meningkat ke US$ 20.000–30.000 pada era 1990-an, dan terus melejit hingga menembus US$ 50.000 pada periode 2010-an, sebelum akhirnya mencapai lebih dari US$ 90.000 pada 2024.

Tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi ini menggambarkan bahwa konsumsi energi per kapita, kebutuhan infrastruktur modern, serta gaya hidup masyarakat berada pada kategori intensif, terutama pada:

  • Penggunaan AC secara masif di area pemukiman, transportasi, dan perkantoran,
  • Dominasi sektor jasa dan keuangan yang bergantung pada pusat data dan jaringan digital,
  • Mobilitas internasional tinggi melalui transportasi udara.

Dengan demikian, meskipun penduduk Singapura relatif kecil, tekanan konsumsi per individu (A) sangat besar dan menjadi faktor penting dalam analisis lingkungan dan energi.



Teknologi (T)

Dari sisi teknologi, Singapura menunjukkan kemampuan efisiensi energi yang cukup maju, namun tekanan lingkungannya tetap tinggi. Pada tahun 2022, total emisi CO₂ Singapura mencapai sekitar 53,4 juta ton, atau setara dengan 9,46 ton per kapita. Angka ini jauh di atas rata-rata global, sehingga menandakan bahwa meskipun Singapura adalah negara kecil dengan populasi terbatas, konsumsi energi per individunya sangat besar. Sebagian besar emisi berasal dari sektor pembangkit listrik, industri pengolahan, dan transportasi, terutama transportasi udara yang sangat dominan karena Singapura merupakan hub penerbangan internasional.

Di sisi lain, pemerintah Singapura secara konsisten mengembangkan teknologi rendah karbon melalui penggunaan gas alam sebagai sumber listrik utama, penerapan sistem pendingin distrik pada kawasan komersial, serta instalasi panel surya di berbagai fasilitas publik. Kebijakan carbon pricing yang telah diterapkan sejak 2019 juga mendorong industri untuk lebih efisien dalam penggunaan energi. Dengan demikian, meskipun tingkat efisiensi teknologinya tinggi, struktur ekonominya yang padat energi menjadikan emisi per kapita Singapura tetap berada pada level yang besar.


Perhitungan estimasi

Model IPAT (I = P × A × T) digunakan untuk memahami hubungan antara populasi (P), kemakmuran (A), dan teknologi (T) terhadap dampak lingkungan (I).

Dalam konteks Singapura, populasi relatif kecil namun sangat padat, tingkat kemakmuran sangat tinggi, dan teknologi energi masih sangat bergantung pada gas alam impor. Hal ini membuat Singapura memiliki emisi per kapita yang tinggi.


interpretasi  singapura

1.RelativeDecoupling
Singapura sudah memperlihatkan relative decoupling, yaitu kondisi ketika pertumbuhan ekonomi (GDP) meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan emisi.

  • Data menunjukkan bahwa meskipun GDP per kapita Singapura mencapai salah satu yangtertinggi di dunia (±US$ 90.674,1), emisi CO₂ total negara ini tidak meningkat sebanding dengan laju pertumbuhan ekonomi.
  • Hal ini dicapai melalui berbagai kebijakan efisiensi energi, pengembangan transportasi publik yang maju, standar bangunan hijau, serta penerapan carbon tax sejak 2019 yang memberi insentif perusahaan untuk menekan emisi.
  • Dengan kata lain, Singapura sudah mampu "memperlambat" pertumbuhan dampak lingkungan meski ekonominya terus maju.

2.AbsoluteDecoupling
Namun, absolute decoupling (penurunan total emisi nasional sambil ekonomi terus bertumbuh) belum sepenuhnya tercapai.

  • Total emisi tahunan Singapura cenderung stabil dalam dua dekade terakhir, tidak melonjak tetapi juga tidak turun secara signifikan.
  • Penyebab utamanya adalah ketergantungan yang sangat tinggi pada energi fosil impor (gas alam >95%).
  • Energi terbarukan domestik masih terbatas (<3%), karena Singapura memiliki keterbatasan lahan untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya atau angin skala besar.
  • Sehingga, meskipun ada peningkatan efisiensi, penurunan absolut emisi sulit diwujudkan tanpa solusi energi lintas batas.

3.TantanganUtama
a. Keterbatasan ruang (land constraints)

  • Sebagai negara kota dengan luas kecil, Singapura tidak memiliki kapasitas besar untuk energi terbarukan domestik.
  • Panel surya sudah dimanfaatkan secara maksimal di atap dan bahkan di waduk (floating solar), namun kontribusinya tetap kecil dibanding kebutuhan energi.
b. Ketergantungan impor energi
  • Hampir seluruh listrik Singapura dihasilkan dari gas alam cair (LNG) yang diimpor.
  • Upaya impor energi terbarukan dari negara tetangga (via ASEAN Power Grid) masih dalam tahap awal dan belum bisa memenuhi mayoritas kebutuhan energi.

c. Jejak karbon konsumsi tinggi

  • Sebagai pusat perdagangan dan keuangan global, konsumsi barang, jasa, dan energi per kapita di Singapura sangat tinggi.
  • Banyak emisi "tersembunyi" yang berasal dari barang impor (misalnya makanan, elektronik, dan material konstruksi), sehingga meskipun emisi teritorial dapat ditekan, jejak karbon konsumsi tetap besar

Rekomendasi Spesifik Singapura

1.     Diversifikasi Sumber Energi

o   Meningkatkan impor listrik terbarukan melalui inisiatif ASEAN Power Grid, misalnya tenaga surya dari Indonesia atau hidro dari Laos.

o   Mengurangi ketergantungan pada gas alam impor yang masih mendominasi >95% bauran energi.

2.     Percepatan Transisi Transportasi

o   Memperluas adopsi kendaraan listrik (EV) untuk mobil pribadi, taksi, dan bus umum.

o   Memperkuat infrastruktur pengisian daya listrik (EV charging stations) di seluruh wilayah kota.

o   Mengurangi jumlah kendaraan berbahan bakar fosil melalui insentif fiskal dan regulasi.

3.     Pengembangan Teknologi Energi Baru

o   Investasi besar pada hidrogen hijau sebagai alternatif jangka panjang pengganti LNG.

o   Uji coba dan penerapan Carbon Capture, Utilisation, and Storage (CCUS) di sektor industri.

o   Memperluas proyek solar terapung (floating solar farm) dan sistem penyimpanan energi (battery storage).

4.     Penguatan Kebijakan Karbon

o   Meningkatkan carbon tax secara bertahap untuk mendorong industri beralih ke energi rendah emisi.

o   Memberikan insentif pajak atau subsidi untuk perusahaan yang berinvestasi pada teknologi hijau.

o   Memperluas sistem perdagangan emisi (emission trading) di kawasan ASEAN.

5.     Pengelolaan Konsumsi dan Limbah

o   Mengembangkan ekonomi sirkular dengan memperkuat sistem daur ulang, pengurangan plastik sekali pakai, dan pemanfaatan kembali material konstruksi.

o   Edukasi publik tentang konsumsi berkelanjutan untuk menekan jejak karbon konsumsi yang tinggi akibat impor barang dan makanan.

o   Mendorong gaya hidup rendah karbon melalui insentif bagi masyarakat, misalnya tarif energi hijau lebih murah.

6.     Kerja Sama Regional dan Global

o   Menjadi pemimpin regional dalam inovasi energi bersih di Asia Tenggara.

o   Memanfaatkan posisi strategis sebagai hub finansial untuk menarik investasi global dalam proyek keberlanjutan.

o   Memperluas peran dalam kredit karbon internasional untuk mengimbangi emisi yang sulit ditekan secara domestik.

Daftar Pustaka

International Energy Agency (IEA). (2024). Singapore Energy Profile. Paris: IEA.

National Climate Change Secretariat (NCCS). (2024). Singapore Climate Action Plan: Take Action Today, For a Carbon-Efficient Singapore. Singapore: Prime Minister’s Office.

Our World in Data. (2024). CO₂ and Greenhouse Gas Emissions: Singapore. Oxford: University of Oxford.

World Bank. (2024). World Development Indicators. Washington, D.C.: World Bank.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merenungi Tantangan: Insinyur Industri di Era Produksi Berkelanjutan

Tugas Mandiri 01